Minggu, 30 September 2012

EFEKTIVITAS PEMBENTUKAN SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (ONE STOP SERVICE) SEBAGAI BENTUK PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG PERIZINAN Di susun oleh: ANDRI WIJAYA B1.0009140 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI 2012 KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim, alhamdullilahi rabbil alamin Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan karunia dari Allah. Selanjutnya salawat dan salam penulis kirimkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dunia yang mewariskan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup dan sumber ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Allhamdulliah akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “EFEKTIVITAS PEMBENTUKAN SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SEBAGAI BENTUK PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG PERIZINAN”. Dalam penulisan ini masih banyak kelemahan dan kekurangan disebabkan kedhaifan penulis. Penulis menyadari bahwa semua ini di dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik berupa material maupun inmaterial. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Sukamto Satoto S.H.,M.H dan Bapak Ivan Fauzani Raharja S.H,.M.H selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Perizinan. 2. Teman-teman penulis yang membantu dengan spiritnya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu sehingga karya tulis ini bias terselesaikan dengan tepat waktu. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah dan semoga mendapat imbalan dari Allah SWT. Dan penulis menyadari makalah ini belum sempurna dan penulis menghargai saran dan kritik yang membangun. Jambi, 1 juni 2012 ANDRI WIJAYA B1.0009140 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar belakang……………………………………………………………5 2. Rumusan Masalah……………………………………………………...…5 3. Tujuan Penulisan…………………………………………………………5 4. Manfaat Penulisan………………………………………………………..5 BAB II : PEMBAHASAN 1. Sejarah Terbentuknya Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu……………6 2. Kendala Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)…………12 BAB III : PENUTUP Kesimpulan……………………………………………………………….16 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu dari ciri khas Negara kesejahteraan adalah Negara yang melalui administrasi Negara ikut aktif secara langsung dalam menangani urusan-urusan yang menyangkut tentang kesejahteraan rakyat. Peran serta tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku baik bersifat nasional maupun daerah. Dan pada dasarnya di daerah diberi otonomi yang seluas-luasnya diantaranya untuk mengatur dan mengurusi daerahnya sendiri. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah berdasarkan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Upaya untuk melaksanakan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut, salah satunya yaitu dengan dikeluarkannya suatu peraturan, baik peraturan daerah maupun kabupaten/kota. Salah satu instrumen yuridis untuk mengatur kepentingan masyarakat salah satunya di kota jambi adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 9 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Yang mendasari dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2010 adalah karena guna memperlancar dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat khusunya dalam hal pemberian izin. Dengan semakin meningkat, dan hal ini mendorong peningkatan dan pertumbuhan aktifitas kegiatan ekonomi masyarakat diberbagai lapangan usaha. Para pelaku ekonomi untuk mengembangkan atau memulai usahanya memerlukan pelayanan perizinan dan nonperizinan yang jumlahnya semakin meningkat pula dan membutuhkan pelayanan yang transparan, perlakuan yang sama, mudah, efisien, cepat, berkeadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Untuk memberikan pelayanan yang transparan, perlakuan yang sama, mudah, efisien, cepat, berkeadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum, diperlukan pelayanan perizinan tersebut, baik pelayanan perizinan maupun non perizinan yang dilaksanakan secara terpadu satu pintu, yang disebut dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Jadi yang dimaksud dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Namun tidak dengan mudah sebagai instansi yang baru dalam birokrasi kepemerintahan daerah dalam hal menjalankan suatu sistem yang mempunyai prosedur-prosedur dan kewenangan-kewenangannya masih berada di bawah instansi tertentu. Selain dari pada itu kemungkinan adanya konflik-konflik antara Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dengan instansi-instansi yang lain. Maka dari itu perlu adanya suatu hubungan kerja yang baik guna memenuhi pelayanan kepada masyarakat yang sehingga terwujudnya pemerintahan yang baik (good government). Berdasarkan berbagai persoalan di atas, maka perlu adanya antisipasi dari Pemerintah Daerah agar nantinya tidak terjadi permaslahan-permaslahan di lingkungan pemerintahan. Hal ini tentunya akan mengundang polemik yang akan merugikan masyarakat dengan adanya badan atau instansi tersebut. Maka dari itu penulis tertarik dan mencoba untuk mengangkat masalah tersebut di dalam makalah ini dengan judul ” Efektivitas Pembentukan Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sebagai Bentuk Pelayanan Publik Di Bidang Perizinan”. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana sejarah terbentuknya sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam hal pelayanan Publik dibidang Perizinan? 2. Apa saja kendala yang di alami dalam pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam hal pelayanan publik di bidang perizinan? C. Tujuan Penulisan 1. Secara umum tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejarah terbentuknya sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam hal pemberian izin. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang di alami dalam hal pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam hal perizinan. D. Manfaat Penulisan Dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca terkait dengan Pembentukan Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu sebagai Pelayanan Publik di bidang perizinan. BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Terbentuknya Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service) Penyelenggaraan perizinan erat kaitanya dengan system administrasi Negara dan merupakan bentuk dari pelayanan public. Sebagai sebuah system, administrasi Negara terdiri dari subsistem lainnya seperti subsitem ekonomi, hokum, politik, social, dan budaya. Keseluruhan subsistem tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tugas Negara dalam memberikan pelayanan public dan pemenuhan hak-hak sipil warga. Di Indonesia, system administrasi Negara yang menjadi pilar pelayanan public menhadapi masalah yang sangat fundamental. Struktur birokrasi, norma, nilai dan regulasi yang ada sekarang masih berorientasii pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga Negara. Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrument untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat sebagai pelayan, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintahan dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Padahal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik, pelayanan public dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan public (pasal 2). Pasal 3 UU ini menyatakan, tujuan pelayanan public antara lain: 1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan public; 2. Terwujudnya system penyelenggaraan pelayanan public yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; 3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan public sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 4. Terwujudya perlindungan dan kepastian hokum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan public. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan structur, norma, nilai, dan regulasi yang berorientasi colonial menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan public masih jauh dari harapan. Belum terciptanya budaya pelayanan public yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan public telah meyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan public. Tidak mengherankan jika kompetensi birokrat masih belum memadai, prosedur pelayanan masih berbelit-belit, dan harga pelayanan public masih tidak transparan. Konsekuensi hal tersebut adalah kewajiban masyarakat untuk membayar mahal pelayanan secara illegal yang seharusnya menjadi tanggung jawab konstitusional Negara dan pemerintahan. Pada sisi lain, persoalan pembangunan di Indonesia, khususnya belum optimalnya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam birokrasi, juga disebabkan oleh ketiadaan grand design reformasi dan reposisiperan administrasi Negara (birokrasi). Hal ini pula menyebabkan birokrasi belu dipandang sebagai factor terpenting penggerak pembangunan. Dalam konteks ini ada yang selalu terlupakan tentang pentingnya birokrasi dalam menata strategi pembangunan. Peran administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi sangat termarjinalisasi oleh prioritas pembangunan ekonomi, hokum, dan politik. Dalam hal proses pelayanan seringkali birokrasi tidak memiliki prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektifitas, dan keadailan. Proses pelayanan public tidak memiliki transparansi baik dalam hal waktu, biaya, dan prosedur yang harus dilalui. Intransparansi prosedur, waktu dan biaya pelayanan sengaja diciptakan untuk kepentingan ketergantungan masyarakat terhadap aparat pemberi pelayanan, sehingga prosedur dibuat secara berbelit-belit agar biaya yang dikenakan kepada masyarakat menjadi lebih mahal. Praktik semacam ini jelas sangat kontraproduktif dengan upaya untuk menciptakan pelayanan public yang efisien (baik waktu maupun biaya), efektif, dan berkeadilan. Setiap warga Negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan public. Bukan sebaliknya, hanya masyarakat yang kaya dan mampu mambayar lebih bias mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan cepat. Padahal, Negara hokum kesejahteraan seperti Indonesia, peran pemerintah seharusnya dominan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Melalui penyelenggaraan perizinan, pemerintah berperan untuk menyelenggarakan birokrasi perizinan untuk kepentingan masyarakat. Kondisi sistem pelayanan public tersebut, secara langsung telah mempengaruhi system perizinan dan memeperburuk iklim investasi di Indonesia. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, perlu dilakukan penyederhanaan penyelengaraan pelayanan terpadu. Upaya ini dilakukan dengan memperkenalkan konsep pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, konsep ini mulai diterapkan. Konsepsi PTSP sudah cukup lama berkembang dan diimplementasikan baik tingkat nasional maupun daerah. Tingkat daerah pemerintah kabupaten dan kota dilakukan dengan beragam nama, berbentuk Unit Pelayanan Satu Atap (UPSA) atau Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Dilapokan terdapat 29 pemerintah kabupaten/kota yang sudah menerapkan penerbitan izin usaha melalui satu pintu. Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 tahun 2006 dijelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu untuk meningkatkan kualitas layanan public dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan public. Dengan tujuan tersebut, sasaran yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah sebagai berikut. 1. Terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau. 2. Meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan public. Terbitnya Permendagri No. 24 Tahun 2006 (tanggal 6juli 2006) tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayan Terpadu Satu Pintu (PTSP) semakin mendorong inisiatif pembentukan unit-unit PPTSP di Indonesia. Hal yang ingin dicapai Permendagri ini pada dasarnya ada dua, yaitu: 1. Memperluas akses public terhadap pelayanan perizinan yang berkualitas; 2. Mendorong peningkatan investasi, dengan menyederhanakan proses-proses perizinan. System pelayanan satu pintu umumnya transparan dalam waktu, prosedur, biaya, dan persyaratan. Batas waktu penyelesaian perizinan dan biaya sudah ditetapkan dan biasanya tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Daerah. Penandatanganan Surat tetap dilakukan oleh Bupati atau Sekda atau Kepala Unit Kerja/Instansi. Berdasarkan hasil kajian KPK, mekanisme Pelayanan Terpadu Satu Pintu memiliki banyak kelebihan sebagai berikut: 1. Daya jangkau masyarakat terhadap pelayanan perizinan menjadi lebih baik. 2. Proses perizinan terlaksana secara transparan, jelas biaya, waktu peyelesaian, syarat, dan prosedur. 3. Member kemudahan kepada masyarakat karena system yang efektif dan efisien. 4. Proses suap yang biasa diberikan oleh pengurus perizinan kepada petugas menjadi sangat berkurang, bahkan tidak ada. 5. Memungkinkan pengurusan perizinan secara pararel. 6. Meningkatkan kedisiplinan pengurus perizinan (masyarakat) dan petugas, karena segalanya harus mengikuti system. 7. Efisiensi sumber daya (SDM dan sarana prasarana) karena setiap jenis perizinan yang masuk/keluar hanya melalui satu pintu. B. Kendala Dalam Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Dalam mengatur tata kerja, penyusun Peraturan Presiden mungkin akan dihadapkan pada benturan kepentingan berbagai pihak sebagaimana terjadi ketika mulai diberlakukan Keppres 29 Tahun 2004. Ketika itu beberapa instansi terkait enggan untuk melimpahkan atau berkoordinasi dengan BKPM dalam melayani perizinan kepada penanam modal. Seringkali di Indonesia kewenangan perizinan dianggap sebagai “profit center” yang mesti dipertahankan oleh suatu instansi. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan keengganan tersebut. Bentuk organisasi juga dapat menjadi ganjalan terlaksananya PTSP. Apakah organisasi tersebut akan dibangun : 1. Sebagai unit promosi dan informasi penanaman modal, 2. Sebagai sekretariat/koordinator yang mendistribusikan tugas ke dinas-dinas ke instansi terkait, atau 3. Sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mengeluarkan izin bagi penanaman modal. Masih berkaitan dengan bentuk organisasi adalah masalah keanggotaan. Apabila yang diambil pilihan pertama dan kedua, maka tidak terlalu menjadi masalah. Keanggotaan wakil dari instansi terkait di Pelayanan Terpadu Satu Pintu bisa sebagai “liason officer” atau “officer on call”. Tetapi apabila pilihan ketiga yang dipilih, maka institusi terkait harus memberikan pelimpahan wewenang kepada lembaga PTSP. Pelaksanaan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu di daerah masih berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pemerintah daerah hendaknya juga mengetahui pengaturan pelayanan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Meskipun keempat peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan sejalan, dengan menggunakan dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu menjadi lebih kuat. Namun demikian, berkaitan dengan bentuk kelembagaan pelayanan penanaman modal, muncul kebingungan pemerintah daerah terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini pembentukan organisasi pelayanan satu pintu bukan merupakan keharusan. Dalam Pasal 47 diatur bahwa untuk membentuk unit pelayanan terpadu digunakan kata ”dapat” yang artinya dapat dibentuk, tetapi boleh juga tidak dibentuk. Personal atau pegawainya merupakan gabungan unsur-unsur perangkat daerah berbagai sektor. Pasal tersebut berbunyi: ”Pasal 47 (1) Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu. 2) Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan. 3) Unit pelayanan terpadu didukung oleh sebuah sekretariat sebagai bagian dari perangkat daerah.” Terhadap keberadaan PTSP terdapat dua kelompok tanggapan. Kelompok pertama adalah yang mendukung keberadaan pelayanan ini. Kelompok ini melihat pada respon yang baik dari masyarakat maupun aparat pemerintah di beberapa kabupaten/kota terhadap keberadaan pelayanan terpadu. Contoh keberhasilan itu adalah Kabupaten Sragen yang mendapatkan penghargaan untuk mutu pelayanan terpadunya dan menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain. Kebijakan pelayanan terpadu dapat mendukung terciptanya aspek-aspek dalam good governance dan memperkecil kemungkinan terjadinya kolusi dan korupsi. Kelompok kedua adalah kelompok yang menentang keberadaan PTSP ini. Keberadaan pelayanan terpadu tidak akan berjalan efektif karena instansi hanya memindahkan orang dan tempat. Bahkan di beberapa aspek menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya yang semula letak pengurusan dekat, dengan adanya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu pengurusannya menjadi lebih jauh. Karena tidak ada altenatif pengurusan, maka iklim kompetisi dalam memberikan pelayanan menjadi tidak ada. BAB III PENUTUPAN Kesimpulan Dari uraian yang penulis utarakan dalam makalah tersebut mengenai pembentukan system pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) , maka secara umum penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Semakin berkembangnya laju perekonomian masyarakat mendorong peningkatan dan pertumbuhan aktifitas kegiatan ekonomi masyarakat diberbagai lapangan usaha. Para pelaku ekonomi untuk mengembangkan atau memulai usahanya memerlukan pelayanan perizinan dan nonperizinan yang jumlahnya semakin meningkat pula dan membutuhkan pelayanan yang transparan, perlakuan yang sama, mudah, efisien, cepat, berkeadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Untuk memberikan pelayanan yang transparan, perlakuan yang sama, mudah, efisien, cepat, berkeadilan, akuntabilitas, dan kepastian hukum, diperlukan pelayanan perizinan tersebut, baik pelayanan perizinan maupun non perizinan yang dilaksanakan secara terpadu satu pintu, yang disebut dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Jadi yang dimaksud dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Dalam hal ini penting rasanya Pembentukan Pelayanan Publik seperti PTSP ini guna meningkatkan mutu terhadap pelayanan kepada masyarakat khususnya di bidang Perizinan. Pemerintah memang dituntut harus mampu bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya guna menciptakan pelayanan public yang baik sehingga dapat terciptanya apa yang dinamakan dengan Good Government seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. 2. Akan tetapi dalam pembentukan PTSP ini tidak dengan mudah sebagai instansi yang baru untuk menyesuaikan diri didalam birokrasi kepemerintahan daerah. Salah satu kendala yang dihadapi didalam pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah tentang keraguan pihak-pihak tertentu terhadap kinerja dan efektivitas terhadap fungsi dan Tugas dari lembaga tersebut. Namun walaupun demikian keberadaan PTSP ini sangat diharapkan keberadaannya didalam sistem pemerintahan daerah guna mencapai optimalisasi terhadap pelayanan publik. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku o Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta. 2. Perundang-undangan o Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah o Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan publik. o Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. o Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelayanan Terpadu Satu Pintu. o Peraturan Daerah kota Jambi Nomor 9 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.